Melalui seni, tradisi ataupun kekinian, mereka mengungkapkan cinta kepada alam dan air sebagai sumber kehidupan. Perayaan ini berlangsung di La pangan Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah . Silih berganti band bergaya metal dan ska tampil di pen tas. Lalu ada pula pertunjukan teater rakyat, teater modern, karawitan, hingga jatilan.
Lapangan desa bersahaja itu menjadi riuh karena semangat para pengisi acara yang tampil mulai pagi hingga menjelang te ngah malam selama 13-15 Juni 2014.
Penontonnya warga desa yang sehari-hari bertani, beternak, menjadi buruh, pengusaha mikro, dan sebagian kecilnya pegawai negeri. Ada pula penonton dari desa-desa tetangga, ini memang pesta desa dengan penyaji seniman-seniman istimewa.
Istimewa bukan cuma karena mereka sebagian datang dari Jakarta dan telah punya nama, seperti band Kuno Kini dan Leonardo and His Impeccable Six yang piawai memainkan ska. Ada pula yang bertandang dari Yogyakarta, Surakarta, hingga kabupaten tetangga, Salatiga.
Ini bukan pentas seni yang didukung merek tertentu, pun bukan hajatan dengan dukungan institusi tertentu. Pergelaran seni bertubi-tubi selama tiga hari ini digelar komunitas Tanaman untuk Kehidupan (TUK), yang awalnya didirikan para seniman yang tak mau diam ketika kualitas lingkungan mereka terus turun. Kini, TUK dikawal para sukarelawan yang terdiri dari pelajar, pekerja, hingga ibu rumah tangga.
Walau berskala desa, ajang rutin Festival Mata Air yang terlangsung untuk keenam kalinya ini sukses memikat seniman-seniman dari berbagai kota buat tampil gratis.
Hanya seniman tradisi yang memang membutuhkan penggantian transportasi yang mendapat ongkos angkutan.
Perayaan mata air Mata air menjadi tema sekaligus pemicu karena para pendiri dan sebagian besar sukarelawan tinggal di sekitar Kabupaten Salatiga dan Semarang, dua wilayah nan sejuk yang kaya mata air.
Limpahan mata air itulah yang kemudian mengaliri kehidupan di sana, mengairi sawah, kebun, menggenangi Danau Rawa Pening kebanggaan mereka, serta menjadi sumber air untuk kebutuhan minum dan mencuci masyarakat di sana.
Di Salatiga saja, kata Jatmiko, panitia Festival Mata Air, terdapat 55 mata air dan hanya 20 yang kondisinya terjaga bagus.
“Salah satu sebabnya ialah minimnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingku ngan, mulai yang kecil seperti buang sampah sembarangan hingga menebangi pohon,“ kata Jatmiko.
Maka, Festival Mata Air pun digelar sejak 2006, di mata air Senjaya, kebanggaan warga Semarang. Selanjutnya, festival digelar bergantian di Semarang dan Salatiga.
“Pemilihan lokasi disesuaikan dengan riset, lingkungan di wilayah yang dinilai paling butuh untuk disembuhkan. Bahasan besarnya memang lingkungan, tetapi semangatnya ialah mata air. Karena dengan lingkungan yang baik, kondisi mata air juga semakin baik,“ kata Jatmiko. Ia merupakan pehobi skateboard yang sehari-hari pengusaha roti yang dijual seharga Rp1.000 per buah ke berbagai warung di sekitar rumahnya.
Kerja keras itu kemudian membuahkan hasil. Salah satunya, mata air Senjoyo yang pada 1999 debet mata airnya 1.150 liter per detik, pada 2009 turun menjadi 900, setelah festival diselenggarakan pulih kembali menjadi 1.617 liter per detik. Nawu di bulan Syawal Kini Desa Tajuk menjadi lokasi buat Dio dan sukarelawan mahasiswa, serta Faizah yang pelajar buat beraktivitas. Jatmiko bersama jajaran pengurus melihat desa di lereng Merbabu itu juga harus dipulihkan dengan seni. Pertunjukan menjadi obat buat lingkungan yang perlu disembuhkan dan nantinya mata-mata air akan kembali deras mengalir.
Pertunjukan juga digelar buat merayakan sekaligus mengabarkan tumbuhnya 13 ribu pohon yang ditanam TUK di lereng Merbabu sejak 2009. Reboisasi yang dilakukan TUK kini berkejaran dengan penggundulan yang kian melebar. “Sekarang tinggi pohon beringin dan akasia itu sudah 1-2 meter. Kabar ini, termasuk pesan bagi masyarakat menjaga lingkungan serta mata air di sekitarnya, juga diserukan pengisi acara yang sebelumnya kami briefing,“ kata Jatmiko.
Perayaan mata air berhawa kekinian terus digulirkan, demikian halnya dengan tradisi yang diturunkan antargenerasi.
Sumber air dihormati dengan berbagai kisah yang membuat manusia di sekitarnya segan buat bertingkah. Setelah Syawal, lazimnya sendang atau mata air juga dibersihkan dengan menguras dan membersihkan sumber air (nawu). Tradisi dan pentas, ketika dilakukan beriringan, akan membuat air senantiasa menghidupkan. (M-7) - Media Indonesia, 29/06/2014, halaman 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar