Buku ini mengajak pembacanya mengenal Jepang dari sisi yang berbeda. APA yang terjadi kalau seorang pria Indonesia tulen yang belum pernah menjejakkan kaki di Jepang tiba tiba mendapatkan tiket gratis untuk pergi ke `Negeri Matahari Terbit'?
Ibarat mendapat durian runtuh itulah yang terjadi pada si Tomo Berkat kegetolannya memantau se tiap forum klub fans Lisa, biduanita pop-rock asal Jepang, Tomo meme nangi tiket pesawat serta akomodas gratis selama 4 hari 3 malam guna menghadiri meet and greet dan me wawancarai idolanya.
Pria mungil berusia 26 tahun itu memang tidak bisa dibilang meng gambarkan karakter kebanyakan pria di Tanah Air. Tomo yang bekerja seba gai graphic designer lepas sangat aktif di media sosial, baik Path, Facebook maupun Twitter. Belum lagi mencatat bahwa dia juga penggemar fanatik Lisa yang memulai debutnya 2011 silam.
Forum klub penggemar Lisa di in ternet betul-betul membuka banyak peluang bagi Tomo. Tidak hanya wisata gratis, penjajakan asmara Tomo dengan Kokoro, seorang gadis Jepang juga berawal dari fan page Lisa di Fa cebook. `Tokyo, here I come. Lisa, hear me sing!' itulah pesan Tomo di fan page yang memancing perhatian Kokoro pertama kali.
Meski tidak pernah bertemu dan be lum lama berkenalan di dunia maya keduanya cepat sekali nyambung Kokoro merupakan penggemar setia Lisa, dia sudah menjadi `fan' dari pe nyanyi itu sejak awal kemunculannya bahkan jauh sebelum terkenal sepert sekarang. Biasanya tipe penggemar yang demikian cenderung lebih eksk lusif dan protektif terhadap idolanya.
Mereka tidak menerima sembarang orang untuk turut masuk kategori penggemar berat, juga tidak banyak berteman dengan penggemar Lisa yang lain. Penerimaan terhadap Tomo secara tidak langsung merupakan ben tuk pengakuan bahwa lelaki itu juga , penggemar berat sepertinya.
Beda budaya Kokoro dan si Tomo ialah dua karakter utama buku Kokoronotomo karya i Monica Tedja. Pekan lalu, novel teenlit yang diterbitkan Andi Publisher itu dikupas dalam Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI) di Demang Resto and Coffee Lounge, Jakarta. Novel itu menawarkan gaya baru dalam penulisan buku wisata. Pengenalan tempat-tempat yang layak dikunjungi di Jepang, kebudayaan, juga nilai, nilai yang merasuk dalam kehidupan masyarakat Jepang, dibalut dalam kemasan berkisah di seputar petu alangan Tomo yang dipandu Kokoro mengelilingi negaranya.
Monica dan Sriwijaya Saputra Ali, produser program televisi Kokorono tomo POP, berbagi cerita dengan para , peserta OPMI. Program televisi delapan episode yang sempat ditayangkan di Metro TV dan di Jepang, baru-baru ini yang mendasari penulisan novel itu.
Gegar budaya yang terjadi di antara dua orang dari beda kewarganegaraan , itu dikisahkan dengan apik. Lihat . saja bagaimana cara sapa Tomo dan Kokoro yang berbeda menimbulkan kecanggungan saat mereka pertama , kali bertemu. Ketika Kokoro melakui kan ojigi alias gerak membungkuk sebagai bentuk sapaan, Tomo malah menyapa dalam tiga tahap berurutan mulai dari salaman, pelukan, hingga cium pipi kanan dan kiri. Begitu pula saat Tomo disadarkan dari cara makan sushi yang salah, lantaran terlalu banyak mencelup ke soyu. Kokoro menjelaskan bahwa kesalahan itu kerap dilakukan orang asli Jepang sekalipun, membuat rasa asli ikannya justru jadi tidak terasa.
Persahabatan keduanya yang kemudian memercikkan benih cinta juga menggelitik saat mengupas karakter orang Indonesia yang berbeda dengan orang sana. Ternyata, pria Jepang dikenal sangat kaku, to the point, dan tidak romantis. Kalaupun berpacaran, dua sejoli Jepang biasa melakukan berbagai hal sendiri-sendiri. Akibatnya, saat seorang perempuan Jepang diperlakukan spesial, mereka mudah sekali berbunga-bunga.
Nah, Tomo yang asli Indonesia dan cukup mahir melakukan kegombalan, memetik keuntungan dari perbedaan kebiasaan itu. Bualannya bisa membuat Kokoro merasa diperlakukan istimewa. Kalau mengutip perumpamaan yang digunakan Monica dalam tulisannya, `Ibarat tanaman putri malu, disentuh sedikit langsung menunduk'.
Pengetahuan yang didapat dari buku Kokoronotomo itu membuat Tengku Agus Reza, peserta OPMI tertarik. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai staf sumber daya manusia di salah satu perusahaan di Jakarta itu mengonfirmasi apa kecenderungan itu benar.
Boleh jadi dia berniat menjajal ilmu percintaan ala Tomo.
Wisata Tempat-tempat yang diulas di buku itu menjadi nilai plus tersendiri, mengenalkan bahwa Jepang tidak cuma soal Tokyo dan Kyoto. Pembaca diajak mengenal Akihabara, pabrik robot Akiba Kikai, Sato Sasara yang merupakan animasi interaktif yang bisa diajak berbicara bahasa Indonesia, juga Nikko Edo Wonderland, tempat wisata yang mengenalkan kehidupan penduduk zaman Edo. Dibahas pula perbedaan gaya berpakaian di kawasan Harajuku dan Omotesando, gyaru fashion, kegiatan otagei oleh sekumpulan otaku, serta uniknya berkaraoke di Tokyo lengkap dengan kostum terong atau kostum aneh lain.
Pengemasan buku wisata dalam bentuk novel ini bagi Ali Sobri merupakan hal menarik. Peserta OPMI satu itu mengaku terpancing untuk membuka Google guna mencari tahu lebih banyak soal tempat-tempat yang diulas. Apalagi buku ini disertai bonus buku petunjuk yubisashi, dilengkapi gambar yang memudahkan pelancong meminta petunjuk orang setempat, meski tidak bisa berbahasa Jepang.
“Tempat yang dikunjungi beda dengan yang biasa,“ katanya sembari memuji tulisan yang terkesan filmis.
Sayang, desain buku yang banyak gambar bahkan berhiaskan bungabunga membuat pembaca pria sepertinya agak malu kalau harus membaca Kokoronotomo di tempat umum. Kritik lain disampaikan Zubeir el-Awwabi.
Guru jurnalistik dan klub menulis di sekolah itu mengeluhkan layout buku yang tidak menunjukkan paragraf menjorok sebagaimana seharusnya, melainkan rata kiri semua dan tak berjarak dari paragraf sebelumnya.Terlepas dari semua itu, buku yang ringan dibaca ini diacungi jempol olehnya. (M-5)
Info : Buku: Kokoronotomo: I Heart Tokyo Penulis: Monica Tedja dan Anggabe Good Penerbit: Andi Publisher Halaman: 202 halaman Cetakan: I Tahun Terbit: 2014 Berat: 229 gram ISBN: 978-979-29-4409-9. (Media Indonesia, 04/05/2014, halaman : 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar